
Suasana santap siang di rumah warga Nehas Liah Bing, kian akrab dengan kedatangan Chris Djoka. Dengan celana pendek, dan tas kamera di punggung, fotografer sekaligus aktivis lingkungan ini, sangat antusias menceritakan perjalanan Lom Plai dari waktu ke waktu.
Popularitas Lom Plai tidak lepas dari peran Chris Djoka. Pria yang sekarang menjabat Community Development Specialist di The Nature Conservancy (TNC), adalah bagian dari warga Nehas Liah Bing.
Chris memang suka mengembara, dan menjauh dari ‘peradaban’ kota. Sejak 2006, alumni Pertanian Universitas Mulawarman ini, bergabung di TNC untuk mengadvokasi Hutan Adat Wehea. Sejak itu, dia menyelami kehidupan warga di sejumlah desa di kawasan Hutan Lindung Wehea, satu diantaranya Desa Nehas Liah Bing.
Kendati berbeda latar belakang budaya, Chris mengaku tak sungkan bergaul dengan etnis Dayak Wehea. Chris yang berlatar Nusa Tenggara Timur, merasa diterima sebagai bagian dari nadi kehidupan warga.
“Sejak kecil saya memang tertarik dengan kebudayaan. Begitu sampai di sini tahun 2006, saya menyaksikan betapa warga melestarikan budaya dengan ritual yang sangat detail. Saya semakin penasaran untuk menggali dan memperkenalkan budaya ini kepada khalayak luas,” ujar Chris, yang cukup fasih berbahasa Dayak Wehea.
Bersama Ketua Adat Wehea, Ledjie Taq, serta sejumlah tokoh adat Wehea, Chris mulai bergerilya mencari jalan untuk mengorbitkan ritual Lom Plai ke tingkat nasional. Melalui jejaring pertemanan dan NGO, Chris menghubungi sejumlah media lokal dan nasional.
Tak banyak yang melirik Lom Plai di 2006. Tetapi, sebagai permulaan, 16 fotografer, serta sejumlah media lokal Kalimantan Timur, mengangkat pamor kegiatan budaya di Desa Nehas Liah Bing. “Dulu memang tidak mudah untuk datang ke sini. Infrastuktur menghambat akses transportasi. Bisa satu hari perjalanan, bahkan lebih.
Di tahun berikutnya, Chris bersama pemuka adat Wehea tidak patah arang. Mereka berjuang lebih keras untuk mendatangkan media nasional, agar Lom Plai bisa lebih dikenal luas. Walhasil, dengan lobi jejaring di tingkat pusat, mereka mendatangkan sejumlah media raksasa nasional, sebut saja Kompas, Tempo, dan Metro TV. Di tahun yang sama pula, media internasional, National Geographic, melakukan peliputan Lom Plai.
Klop sudah. Sejak 2007, Lom Plai dikenal luas oleh publik nusantara. Pekerjaan publikasi tidak lagi sesulit sebelumnya. Karena itu di tahun 2008, stasiun televisi swasta nasional, TV One, menggarap serius pemberitaan Lom Plai.
“Kebetulan produser TV One yang akan membantu, adalah seorang Antropolog. Kami minta berita Lom Plai ditayangkan di jam prime time. Beliau setuju dan berjanji menayangkan Lom Plai di prime time,” ujar Chris.
Janji itu ditunaikan dengan baik. Lom Plai tayang saat prime time di sela berita siang TV One. Chis dan warga Wehea sangat bahagia, karena jam tayang tersebut disaksikan jutaan pemirsa TV One di Indonesia.
“Mereka buat Lom Plai jadi berita feature berdurasi 4 menit. Ditayangkan saat Berita Siang TV One. Asli keren. Kami semua disini menunggu di depan TV,” kata Chris, lalu tersenyum, mengingat perjalanan panjang mengorbitkan Lom Plai.
Merawat Kebanggaan
Selain media mainstream, Chris Djoka juga kerap mengabarkan Lom Plai melalui situs pribadi. Dia mengaku, publikasi via internet baru dilakukan di tahun 2008, karena sebelumnya, akses telekomunikasi di kawasan itu sangat terbatas.
Disamping itu, sejumlah buku yang berbentuk narasi, atau buku foto, juga memuat Lom Plai, sebagai ritual budaya adat nusantara. Tak heran, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menetapkan Lom Plai, sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2015, atau 7 tahun setelah Lom Plai dikenal publik secara luas.
Kegiatan adat komunitas Dayak Wehea termasuk Lom Plai, sebenarnya bukan bagian dari pekerjaan Chris di TNC Wehea. Tetapi, dia mengaku meminta toleransi kepada manajemen TNC untuk memfasilitasi warga Wehea untuk melestarikan budaya dan kearifan lokal.
“Untungnya manajemen TNC memberikan kompensasi kepada saya. Saya seharusnya lebih banyak bertugas di Hutan Wehea. Tetapi, ya..seperti inilah..,” tutur Chris lalu tertawa.
Menurut Chris, ada dampak yang jauh lebih besar dari Lom Plai selain pemberitaan dan publikasi.
“Ada kebanggaan yang terbangun untuk melestarikan kearifan budaya. Dulu, bahkan ada pemuka adat yang tidak pernah menggunakan pakaian adat. Beliau sempat termenung dan menangis. Setelah Lom Plai dikenal luas, beliau bangga menggunakan pakaian adat, karena itu adalah identitas,” ujar Chris.
Disamping itu kata Chris, semarakn Lom Plai setiap tahun memicu generasi muda mencintai budaya mereka. Dengan belajar tarian khas Wehea, membuat kostum Hudoq serta menjadi panitia dalam beragam persiapan Lom Plai, generasi muda kian bersemangat melestarikan budaya.
“Yang juga tak kalah penting adalah kebutuhan dokumentasi. Dengan terdokumentasinya seluruh ritual budaya secara lengkap, generasi yang akan datang akan punya referensi untuk melakukan ritual yang sama. Sehingga ritual Lom Plai tetap terjaga sepanjang jaman,” kata Chris yang kini berdomisili di Samarinda. (*)